MAKALAH PATOLOGI
POSTMORTAL
Disusun oleh
1.
Della
Afrianti (P27820716004)
2.
Rahma
Amalia Syafitri (P27820716012)
3.
Nindya
Rama Pramesti (P27820716022)
4.
Is
Naning Tyas N (P27820716031)
5.
Bagas
Meiranda (P27820716035)
PRODI
D IV GAWAT DARURAT
JURUSAN
KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
TAHUN
AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami
dapat menyusun makalah ini.
Dalam proses
penyusunan makalah ini, penyusun mengalami banyak permasalahan. Namun, berkat
arahan dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya.
Penyusun menyadari
makalah ini masih belum sempurna, baik dari isi maupun sistematika
penulisannya. Maka dari itu, penyusun berterima kasih apabila ada kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan rekan-rekan seperjuangan, khususnya rekan-rekan
Program Studi DIV Keperawatan Gawat Darurat.
Surabaya, Juni 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 1
1.3
Tujuan
....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perubahan Post Mortem.......................................................................... 2
2.2 DVI (DISASTER VICTIM
IDENTIFICATION).................................. 3
2.3 Fase Pemeriksaan
Postmortem............................................................... 5
2.4 Faktor yang
Mempengaruhi Perubahan pada Kematian.................... 7
BAB III PENUTUP
5.1
Kesimpulan............................................................................................. 13
5.2
Saran
...................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mati
merupakan berhentinya kehidupan, seluruh organ vital berhenti bekerja. Ada
beberapa istilah dipakai dalam berbagai keadaan yang mendekati mati. Misalnya:
mati suri yaitu keadaan seperti (menyerupai) mati, tetapi masih dapat diatasi
dengan alat bantu aktifitas organ vital yang telah sangat melemah;aktifitas
susunan saraf pusat masih tampak walaupun lemah. Koma adalah keadaan tidak
sadarkan diri, tidak dapat dibangunkan Karena ada gangguan susunan saraf pusat
akibat trauma kapatis berat, keracunan, gangguan keseimbangan elektrolit,
apopleksia (perdarahan intracranial yang berdampak timbulnya gejala
mendadak-serius dari aspek neurologi, seperti kelumpuhan alat gerak satu sisi
atau pada kedua sisi disertai/tanpa disertai gangguan atau sama sekali tidak bisaberbicara)
; kematian somatic yaitu keadaan dimana seluruh akivitas berhenti.
Visum
(tanda pernyataan) dokter (pemeriksaan dengan stetoskop) atas tidak
terdengarnya lagi detak jantung dan suara pernafasan penderita yang dinyatakan
mati. Perubahan post mortem dipengaruhi banyak factor, seperti : ada tidaknya
penyakit infeksi/sepsis, ketegangan jiwa saat menjelang kematian, perbedaan
suhu badan dengan suhu badan normal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan perubahan Post mortem?
2. Apa
yang dimaksud disaster victim identification?
3. Bagaimana
fase pemeriksaan post mortem?
4. Apa
saja faktor yang mempengaruhi perubahan pada kematian?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui perubahan pada post mortem
2. Untuk
mengetahui pengertian disaster victim identification
3. Untuk
mengetahui fase pemeriksaan post mortem
4. Untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi perubahan pada kematian
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perubahan Postmortem
Seseorang dikatakan mati apabila jantung tidak berdenyut lagi dan pernafasanjuga berhenti, akhirakhir ini terutama berhubungan dengan kemajuan dalam hal tranplantasi berbagai alat
tubuh, timbul pertentangan mengenai saatnya yang tepat seseorang
dapat dinyatakan mati. Beberapa ahli berpendapat bahwa mendatarnya EEG (Electro
Encephalo Gram) yang berarti berhentinya fungsi otak, dapat dianggap sebaga
saat kematian, tanpa menghiraukan fungsi alat tubuh lainnya.
Kematian
tubuh disebut juga somatic dealth, suatu kematian yang terjadi umum, jadi perlu
dibedakan dengan kematian sel yang diikuti dengan nekrosis. Pada saat terjadi
kematian umum mungkin masih terdapat sel dan jaringan yang masih sempat
melanjutkan beberapa aktivitas, misalnya sel yang sedang bermitosis masih dapat
menyelesaikan pembelahannya. Tetapi kemudian segala kegiatan pada jaringann dan
sel akan terhenti sama sekali.Data postmortem adalah data-data fisik yang
diperoleh melalui personal identification setelah korban meninggal. Seperti
sidik jari, golongan darah, konstruksi gigi dan foto diri korbaantong
pakaiannya.
Kriteria diagnostik
penentuan kematian :
1. Hilangnya
semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap komandoatau perintah, dan
sebagainya).
2. Tidak
ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak sedang berada
dibawah pengaruh obat-obatan curare.
3. Tidak
ada reflek pupil.
4. Tidak
ada reflek kornea.
5. Tidak
ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan.
6. Tidak
ada reflek menelan atau batuk ketikatuba endotracheal didorong kedalam.
7. Tidak
ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yangdimasukkan ke
dalam lubang telinga.
8. Tidak
ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukuplama walaupun
pCO2 sudah melampaui.
2.2 DVI
(DISASTER VICTIM IDENTIFICATION)
Identifikasi mayat korban merupakan suatu proses penting yang dapat berguna
untuk pendataan tentang subjek korban sehingga kemudian dapat diserahkan
kembali kepada keluarga korban. Pemerintah sendiri telah membuat suatu
prosedur yakni Disaster Victim Identification atau biasa disebut DVI
merupakan suatu prosedur identifikasi yang dilakukan terhadap korban kematian
akibat bencana massal ini. Dalam melakukan identifikasi, DVI mengacu pada
standar baku International Police Organization (Interpol) yang
terdiri dari:
Data primer berupa
1. Profil
gigi : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khas tiap orang. Tidak ada profil
gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda. Hal ini bergantung pula pada
tipikal ras.
2. Sidik
jari (fingerprint) : sidik jari apda setiap orang memiliki pola yang
berbeda dan tidak akan sama.
3. Pemeriksaan DNA
: DNA setiap orang juga pasti berbeda.
Data sekunder berupa
1. Visual
2. Fotografi
3. Properti (pakaian,
perhiasan, dokumen, dll)
4. Medik
– antropologi (pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh,
tinggi badan, berat badan, ciri khas khusus dan bekas luka yang ada di tubuh
korban)
Pada korban kematian akibat bencana besar, seringkali ditemukan
kesulitan terutama karena penampakan tubuh korban yang sama
sekali tidak bisa dikenali secara kasat mata karena sebagian besar
tubuhnya telah hancur dan tidak berbentuk. Dalam keadaan seperti inilah
kemudian identifikasi khusus dibutuhkan.
Terdapat beberapa fase
yang ada dalam DVI (Identifikasi) yakni
:
1. In
the scene of incidents atau biasa disebut tempat kejadian peristiwa (TKP).
Pada fase ini, dilakukan pembatasan area dengan menggunakan garis batas
polisi sehingga area TKP tidak terganggudan dapat
dilakukan labelling pada korban dan dokumentasi untuk
kepentingan identifikasi
2. Collecting
post mortem data yang terdiri dari pemeriksaan medik antropologi, pengambilan
foto, pengambilan sidik jari, pemeriksaan rontgen, pemeriksaan odontology
forensik, hingga pengambilan sampling untuk pemeriksaan DNA
3. Collecting
ante mortem data yang biasa dilakukan dengan wawancara mengenai riwayat
korban pada orang terdekat terutama keluarga
4. Reconciliation, pada
fase ini, data post mortem dan ante mortem yang telah didapatkan dibandingkan
dan dicocokkan. Jika indikator kecocokan sudah dicapai, maka identitas korban
akan semakin mudah untuk diketahui.
5. Returning
to the family atau proses pengembalian pada keluarga jika korban telah
teridentifikasi, selanjutnya dilakukan rekonstruksi hingga didapatkan
kondisi/kosmetik terbaik untuk kemudian dikembalikan pada keluarganya.
Dalam pelaksanaanya, identifikasi bukan merupakan perkara yang mudah. Banyak
kesulitan yang dialami karena kurangnya sistem informasi dan pengumpulan
data yang ada di Indonesia. Dalam hal ini,
proses reconciliation menjadi sulit dilakukan karena kurangnya data
informasi ante mortem korban. Kesulitan-kesulitan tersebut dikarenakan hal-hal
sebagai berikut :
a. Buruknya
pencatatan dan rekam medis, sehingga data – data hasil pemeriksaan
korban terutamadata primer tidak tersimpan dan tercatat dengan baik.
b. Masih
rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemeriksaan tertent secara
berkala, dalam kasus ini adalah gigi yang dapat digunakan sebagai data primer,
sehingga data ante mortem profil gigi pun sulit didapatkan.
c. Kurangnya
sosialisasi pemerintah untuk mengumpulkan data primer layaknya di luar negeri
Dari hal-hal diatas Penulis hanya bisa menyarankan agar pemerintah lebih peduli
akan hal ini dan meningkatkan kepedulian itu dengan cara mengadakan suatu
program yang dapat mendukung dan mempermudah proses pemeriksaan ini agar tidak
terbengkalai.
2.3 Fase
Pemeriksaan Postmortem
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Pada fase ini tubuh
korban diradiografi dan diotopsi. Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan
fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter
forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data
postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh
tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan
sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form
berdasarkan standar Interpol. Kegiatan pada fase kedua dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. Menerima
jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP.
b. Mengelompokkan
kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah dan
barang‐barang.
c. Membuat
foto jenazah.
d. Mengambil
sidik jari korban dan golongan darah.
e. Melakukan
pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia.
f.
Melakukan pemeriksaan
terhadap properti yang melekat pada mayat.
g. Melakukan
pemeriksaan gigi‐geligi korban.
2. Membuat
rontgen foto jika perlu.
3. Mengambil
sampel DNA.
4. Menyimpan
jenasah yang sudah diperiksa.
5. Melakukan
pemeriksaan barang‐barang
kepemilikan yang tidak melekat di mayat yang ditemukan di TKP.
6. Mengirimkan
data‐data yang telah diperoleh ke unit
pembanding data. Data‐data
post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan dari berbagai
keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi forensik,
sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik.
Urutan pemeriksaan
pada jenazah adalah sebagai berikut :
a. Mayat
diletakkan pada meja otopsi atau meja lain
b. Dicatat
nomor jenazah
c. Foto
keseluruhan sesuai apa adanya
d. Ambil
sidik jari (bila dimungkinkan keadaannya)
e. Deskripsi
pakaian satu persatu mulai dari luar, kemudian dilepas dan dikumpulkan serta
diberi nomor sesuai nomor jenazah (bila diperlukan untuk mengambil foto jika
dianggap penting dan khusus).
f. Barang
milik pribadi dan perhiasan difoto dan didiskripsi kemudian dikumpulkan dan
diberi nomor sesuai nomor jenazah.
Contohnya barang milik priadi
g. Periksa
secara teliti mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki yang meliputi :
Identifikasi umum (jenis kelamin‐umur‐BB‐TB,
dll); Identifikasi khusus (tato, jaringan parut, cacat, dll).
2. Lakukan
bedah jenazah dan diskripsikan temuan, prinsipnya mencari kelainan yang khas,
penyakit/patologis, bekas patah tulang, bekas operasi dan lain‐lain.
3. Ambil
sampel untuk pemeriksaan serologi, DNA atau lain‐lain.
4. Foto
akhir keseluruhan sesuai kondisi korban.
5. Buat
kesimpulan berdasarkan pemeriksaan patologi forensik.Contohnya foto rontgen jari tangan
Urutan pemeriksaan gigi‐geligi
:
a. Pemeriksaan
dilakukan oleh dokter gigi atau dokter gigi forensic.
b. Jenazah
diletakkan pada meja atau brankar.
c. Untuk
memudahkan pemeriksaan jenazah, jenazah diberi bantalan kayu pada punggung
atas/bahu sehingga kepala jenazah menengadah ke atas.
d. Pemeriksaan
dilakukan mulai dari bibir, pipi, dan bagian‐bagian
lain yang dianggap perlu.
e. Guna
memperoleh hasil pemeriksaan yang maksimal, maka rahang bawah harus dilepaskan
dan jaringan kulit atau otot pada rahang atas dikupas ke atas agar gigi tampak
jelas kemudian dibersihkan. Hal ini untuk mempermudah melakukan pemeriksaan
secara teliti baik pada rahang atas maupun bawah.
f.
Apabila rahang atas dan
bawah tidak dapat dipisahkan dan rahang kaku, maka dapat diatasi dengan membuka
paksa menggunakan tangan dan apabila tidak bisa dapat menggunakan `T chissel’
yang dimasukkan pada region gigi molar atas dan bawah kiri atau kanan atau
dapat dilakukan pemotongan musculus masetter dari dalam sepanjang tepi
mandibula sesudah itu condylus dilepaskan dari sendi.
g. Catat
kelainan‐kelainan sesuai
formulir yang ada.
h. Lakukan
rontgen gigi.
i.
Bila perlu rontgen
tengkorak jenazah.
j.
Contoh foto rontgen
kepala
k. Selanjutnya
bila perlu dibuat cetakan gigi jenazah untuk analisa lebih lanjut.
2.4 Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Perubahan Pada Kematian
1.
Autolisis
Autolysis adalahjaringan yang mati dihancurkan oleh
enzim-enzim antara lain enzim dari lisosom, mikroorganisme yang mengifeksi
jaringan mati. Tubuh yang mati akan mencair, kecuali jika dicegah dengan
pengawetan atau pendinginan.Akibat pengaruh fermen-fermen pada tubuh, jaringan
mengalami autodigestion.
Pada jaringan tertentu seperti mukosa lambung, kandung empedu, autolysis cepat terjadi,karena itu biasanya tidak dapat diperoleh sediaan mikroskopik yangbaik.
Pada umumnya makin tinggi ferensiasi jaringan, makin cepat autolysis. Sedangkan
jaringan penyokong lebih awet. Pembusukan terjadi akibat masuknya kuman
saprofitik, biasanya kuman ini berasal dari usus. Gas H2S maka jaringan sekitar
usus tampak kehijauan.
2.
Algor Mortis
Suhu
tubuh menjadi dingin sesuai suhu lingkungan memerlukan waktu 24 s/d 48 jam
untuk menjadi dingin sesuai suhu lingkungan. Suhu tubuh menjadi dingin karena
proses metabolisme terhenti. Jika ditempat yang dingin maka akan lebih cepat
dingin, tetapi jika ditempat yang panas akan lebih lambat.Terjadi setelah kematian
dan berlanjut sampai tercapai suatu keadaan dimana suhu mayat sama dengan suhu
lingkungan. Pada jam-jam pertama setelah kematian somatis, penurunan suhu
berlangsung lambat karena :
a. Tubuh
terdiri dari berbagai lapisan yang tidak homogen sehingga lapisan yang berada
di bawah kulit akan menyalurkan panasnya ke arah kulit sehingga membutuhkan
waktu untuk menyalurkan panas. Jika sudah mencapai temperature gradient.
b. Proses
metabolisme sel yang masih berlangsung beberapa saat setelah kematian somatis
c. Penurunan
suhu mayat akan berlangsung lambat pada saat mendekati suhu lingkungan
Ada
beberapa faktor penting yang mempengaruhi kecepatan penurunan suhu mayat,
antara lain :
1) Faktor
lingkungan, semakin besar beda antara suhu mayat dengan suhu lingkungan, maka
penurunan suhu akan berlangsung lebih cepat. Demikian juga intensitas serta
kualitas dari aliran atau pergerakan udara akan berpengaruh terhadap kecepatan
penurunan suhu mayat.
2) Suhu
tubuh sebelum kematian, beberapa keadaan seperti infeksi, perdarahan otak,
kerusakan jaringan otak, serta kematian karena penjeratan akan didahului dengan
peningkatan suhu tubuh.
3) Keadaan
fisik tubuh dan pakaian yang menutupinya, semakin tebal jaringan lemak atau
pakaian yang dikenakan, maka kecepatan penurunan suhu akan semakin lambat.
3.
Rigor Mortis (kaku mayat)
Rigor
Mortis (kaku mayat)timbul setelah 2 s/d 4 jam setelah kematian. Mencapai puncak
setelah 48 jam dan kemudian menghilang selama 3 sampai 4 hari.Kekakuan pada
seluruh otot yang terjadi setelah periode relaksasi primer. Terjadi sekitar 2 jam
post-mortal dan mencapai puncak pada 10 – 12 jam post-mortal kemudian menetap
selama 24 jam. Setelah
24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu
dimulai dari otot-otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai
Peranan
ATP sangat penting dalam proses kaku mayat (rigor mortis). Dalam keadaan
kontraksi otot normal, glikogen yang disimpan dalam otot diubah menjadi asam
laktat dan energi. Energi ini akan digunakan untuk kembali mensintesis ATP. ATP
penting untuk menjaga kemampuan kontraksi dan kelenturan otot sehingga otot
tidak menjadi kaku. Pada kematian somatis sudah tidak terjadi proses
metabolisme sel yang akan menghasilkan ATP sehingga kadar ATP menjadi sangat
berkurang dan akibatnya sifat kelenturan dan kemampuan kontraksi otot menjadi
hilang akibatnya muncul kaku mayat (rigor mortis). Cadangan ATP pada setiap
otot berbeda, sehingga munculnya kaku mayat (rigor mortis) akan berbeda dan
biasanya lebih cepat pada jaringan otot yang serabut ototnya lebih
sedikit.Peranan ATP tersebut juga dapat menjelaskan munculnya kaku mayat yang
lebih cepat pada kematian karena infeksi, konvulsi kelelahan, keadaan suhu
keliling yang tinggi, dan keadaan gizinya jelek.
Jika
terjadi pada ekstremitas, kekakuannya menyerupai papan, sehingga dibutuhkan
tenaga untuk dapat melawan kekakuan tersebut.
Adanya
kejanggalan dari postur pada mayat, dimana kaku mayat telah terbentuk dengan
posisi sewaktu mayat ditemukan, dapat menjadi petunjuk bahwa tubuh korban telah
dipindahkan setelah mati.
Hal-hal yang perlu
dibedakan dengan rigor mortis atau kaku jenazah adalah:
a. Cadaveric
Spasmus, yaitu kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap
sesudah kematian akibat hilangnya ATP lokal saat mati karena kelelahan atau
emosi yang hebat sesaat sebelum mati.
b. Heat
stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein karena panas sehingga
serabut otot memendek dan terjadi flexi
sendi. Misalnya pada mayat yang tersimpan dalam ruangan dengan pemanas ruangan
dalam waktu yang lama.
c. Cold
stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan yang dingin sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh dan pemadatan jaringan lemak subkutan sampai otot.
4.
Livor Mortis (lebam
mayat)
Livor
Mortis (lebam mayat)akan tampak setelah 30 menit kematian dan mencapai
puncaknya setelah 6 hingga 10 jam.Lebam mayat timbul pada bagian bawah
tubuh.Terjadi karena à pengumpulan darah à
dalam pembuluh-pembuluh darah kecil, kapiler dan venula, pada bagian tubuh
terendah ß akibat gaya gravitasi. Lebam mayat
akan tampak sebagai daerah pada kulit yang berwarna merah ungu (livide) dan
biasanya tidak tampak pada daerah-daerah yang mendapat tekanan. Biasanya mulai
tampak + 30 menit setelah kematian somatis dan intensitas maksimal akan dicapai
dalam 8 – 12 jam post-mortal, sehingga tidak akan mengalami perubahan apabila
ditekan. Hal ini bisa dijadikan sebagai penanda, apakah mayat tersebut telah
diubah posisinya atau tidak.
Warna
lebam mayat umumnya merah-ungu (livide), namun bisa berbeda pada keadaan
tertentu, misalnya :Keracunan CO : warnanya merah bata (cherry red);Keracunan
CN- (sianida) warnanya merah terang karena kadar HbO2 dalam darah vena tetap
tinggi;Keracunan zat yang bisa menimbulkan methemoglobinemia (keracunan KClO3, kinine,
anilin) warnanya cokelat kebiruan (slaty);Kasus tenggelam atau tubuh mayat ada
pada lingkungan bersuhu rendah, maka lebam mayat khususnya yang dekat dengan
tempat yang bersuhu rendah akan berwarna à
merah terang.
5.
Pembekuan Darah
postmortal
Beku
darah post mortal berkonsistensi lunak, elastic dan seperti gel, berbeda dengan
thrombus yang konsistensinya keras dan kering.Terjadi segera setelah penderita
meninggal. Dapat pula terjadi pada masa agoni (algonialclots). Beku darah yang
terjadi setelah orang meninggal disebut post mortem clots, warnanya merah,
elastic atau seperti agar – agar (cruor clots) dan beku darah ini tidak melekat
erat pada dinding pembuluh darah jantung. Bila beku darah terbentuknya lambat,
maka beku darah nampak berlapis-lapis ; sel darah merah karena lebih
berat merupakan lapis terbawah, diantaranya leukosit dan paling atas ialah
lapis yang berwarna kuning terdiri atas plasma darah dan sedikit leukosit. Beku
darah semacam ini terdapat di dalam jantung dan dapat di temukan pada bedah
mayat.Bagian terbawah yang, merah dan mengandung eritrosit di sebut cruor clots
dan bagian atas yangkuning karena menyerupai lemak ayam di sebut sebagai
“chicken fat clot”.
6.
Jejas postmortal
Enzim
dalam tubuh masih aktif untuk beberapa waktu setelah kematian. Jejas postmortal
tidak dijumpai reaksi radang pada jejas, sedangkan pada lesi antemortal nampak
reaksi radang.
7.
Pembusukan
Pembusukanadalahhancurnya tubuh yang mati karena
invasi bakteri. Kulit menjadi kehijauan setelah 1 sampai 2 minggu.Pembusukan
jenazah terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan kerja
bakteri. Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan dimulai dari
daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan berbau busuk karena
terbentuk gas seperti HCN, H2S dan lainlain. Gas yang terjadi menyebabkan
pembengkakan. Akibat proses pembusukan rambut mudah dicabut, wajah membengkak,
bola mata melotot, kelopak mata membengkak dan lidah terjulur. Pembusukan lebih
mudah terjadi pada udara terbuka suhu lingkungan yang hangat/panas dan
kelembaban tinggi. Bila penyebab kematiannya adalah penyakit infeksi maka
pembusukan berlangsung lebih cepat.Pembusukan dipengaruhi oleh enzym dan
mikroorganisme.Pembusukanakantimbul 18 – 24 jam sesudah kematian. Tanda-tanda
pembusukan meliputi :
a. Warna
kehijauan pada daerah caecum
b. Wajah
dan bibir membengkak
c. Scrotum
/ vulva membengkak
d. Distensi
dinding perut
e. Marbling
pada vena-vena kulit
f.
Buliae
g. Darah
keluar dari hidung / mulut
h. Bola
mata menonjol
i.
Kuku / rambut terlepas
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Postmortem
adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk mengidentifikasi mayat korban
suatu bencana. Dengan mengandalkan bukti-bukti DNA,tanda pengenal,struktur
tubuh,struktur gigi. Biasanya hal ini dilakukan oleh sebuah tim khusus yang
disebut DVI yaitu tim yang bertugas untuk melakuakn identifikasi mayat sesuai
dengan tata cara yang telah ditentukan yang berisi dokter ahli forensik dan
dokter gigi forensik.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan, pembaca dapat memahami penjelasan
di dalamnya khususnya tentang postmortal sehingga dapat diterapkan, guna
pemaksimalan pemahaman mengenai kelainan retrogresif
DAFTAR PUSTAKA
fitrytessar.blogspot.co.id/?m=1
sukaryat.blogspot.co.id/2013/05/makalah-tentang-perubahan-post-mortem.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar