Cute Rocking Baby Monkey IsNaningTiyasNovitaSari: Makalah Postmortem

Rabu, 27 Desember 2017

Makalah Postmortem

MAKALAH PATOLOGI
POSTMORTAL












Disusun oleh
1.      Della Afrianti                          (P27820716004)
2.      Rahma Amalia Syafitri           (P27820716012)
3.      Nindya Rama Pramesti            (P27820716022)
4.      Is Naning Tyas N                    (P27820716031)
5.      Bagas Meiranda                       (P27820716035)


PRODI D IV GAWAT DARURAT
JURUSAN KEPERAWATAN 
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
TAHUN AJARAN 2016/2017


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyusun makalah ini.
Dalam proses penyusunan makalah ini, penyusun mengalami banyak permasalahan. Namun, berkat arahan dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penyusun menyadari makalah ini masih belum sempurna, baik dari isi maupun sistematika penulisannya. Maka dari itu, penyusun berterima kasih apabila ada kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan rekan-rekan seperjuangan, khususnya rekan-rekan Program Studi DIV Keperawatan Gawat Darurat.





            Surabaya, Juni 2016



                                                                                                Penyusun


DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah.................................................................................... 1
1.3  Tujuan ....................................................................................................... 1      
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perubahan Post Mortem.......................................................................... 2
2.2 DVI (DISASTER VICTIM IDENTIFICATION).................................. 3
2.3 Fase Pemeriksaan Postmortem............................................................... 5
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan pada Kematian.................... 7
BAB III PENUTUP
5.1    Kesimpulan............................................................................................. 13
5.2    Saran ...................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 14


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mati merupakan berhentinya kehidupan, seluruh organ vital berhenti bekerja. Ada beberapa istilah dipakai dalam berbagai keadaan yang mendekati mati. Misalnya: mati suri yaitu keadaan seperti (menyerupai) mati, tetapi masih dapat diatasi dengan alat bantu aktifitas organ vital yang telah sangat melemah;aktifitas susunan saraf pusat masih tampak walaupun lemah. Koma adalah keadaan tidak sadarkan diri, tidak dapat dibangunkan Karena ada gangguan susunan saraf pusat akibat trauma kapatis berat, keracunan, gangguan keseimbangan elektrolit, apopleksia (perdarahan intracranial yang berdampak timbulnya gejala mendadak-serius dari aspek neurologi, seperti kelumpuhan alat gerak satu sisi atau pada kedua sisi disertai/tanpa disertai gangguan atau sama sekali tidak bisaberbicara) ; kematian somatic yaitu keadaan dimana seluruh akivitas berhenti.
Visum (tanda pernyataan) dokter (pemeriksaan dengan stetoskop) atas tidak terdengarnya lagi detak jantung dan suara pernafasan penderita yang dinyatakan mati. Perubahan post mortem dipengaruhi banyak factor, seperti : ada tidaknya penyakit infeksi/sepsis, ketegangan jiwa saat menjelang kematian, perbedaan suhu badan dengan suhu badan normal.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan perubahan Post mortem?
2.      Apa yang dimaksud disaster victim identification?
3.      Bagaimana fase pemeriksaan post mortem?
4.      Apa saja faktor yang mempengaruhi perubahan pada kematian?
1.3 Tujuan
1.      Untuk mengetahui perubahan pada post mortem
2.      Untuk mengetahui pengertian disaster victim identification
3.      Untuk mengetahui fase pemeriksaan post mortem
4.      Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perubahan pada kematian
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perubahan Postmortem
Seseorang dikatakan mati apabila jantung tidak berdenyut lagi dan pernafasanjuga berhenti, akhirakhir ini terutama berhubungan dengan kemajuan dalam hal tranplantasi berbagai alat tubuh,  timbul pertentangan mengenai saatnya yang tepat seseorang dapat dinyatakan mati. Beberapa ahli berpendapat bahwa mendatarnya EEG (Electro Encephalo Gram) yang berarti berhentinya fungsi otak, dapat dianggap sebaga saat kematian, tanpa menghiraukan fungsi alat tubuh lainnya.
Kematian tubuh disebut juga somatic dealth, suatu kematian yang terjadi umum, jadi perlu dibedakan dengan kematian sel yang diikuti dengan nekrosis. Pada saat terjadi kematian umum mungkin masih terdapat sel dan jaringan yang masih sempat melanjutkan beberapa aktivitas, misalnya sel yang sedang bermitosis masih dapat menyelesaikan pembelahannya. Tetapi kemudian segala kegiatan pada jaringann dan sel akan terhenti sama sekali.Data postmortem adalah data-data fisik yang diperoleh melalui personal identification setelah korban meninggal. Seperti sidik jari, golongan darah, konstruksi gigi dan foto diri korbaantong pakaiannya.
Kriteria diagnostik penentuan kematian :
1.      Hilangnya semua respon terhadap sekitarnya (respon terhadap komandoatau perintah, dan sebagainya).
2.      Tidak ada gerakan otot serta postur, dengan catatan pasien tidak sedang berada dibawah pengaruh obat-obatan curare.
3.      Tidak ada reflek pupil.
4.      Tidak ada reflek kornea.
5.      Tidak ada respon motorik dari saraf kranial terhadap rangsangan.
6.      Tidak ada reflek menelan atau batuk ketikatuba endotracheal didorong kedalam.
7.      Tidak ada reflek vestibulo-okularis terhadap rangsangan air es yangdimasukkan ke dalam lubang telinga.
8.      Tidak ada napas spontan ketika respirator dilepas untuk waktu yang cukuplama walaupun pCO2 sudah melampaui.
2.2  DVI (DISASTER VICTIM IDENTIFICATION)
      Identifikasi mayat korban merupakan suatu proses penting yang dapat berguna untuk pendataan tentang subjek korban  sehingga kemudian dapat diserahkan kembali kepada keluarga korban.  Pemerintah sendiri telah membuat suatu prosedur yakni Disaster Victim Identification atau biasa disebut DVI merupakan suatu prosedur identifikasi yang dilakukan terhadap korban kematian akibat bencana massal ini. Dalam melakukan identifikasi, DVI mengacu pada standar baku International Police Organization (Interpol) yang terdiri dari:
Data primer berupa
1.    Profil gigi : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khas tiap orang. Tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda. Hal ini bergantung pula pada tipikal ras.
2.    Sidik jari (fingerprint) : sidik jari apda setiap orang memiliki pola yang berbeda dan tidak akan sama.
3.    Pemeriksaan DNA : DNA setiap orang juga pasti berbeda.
Data sekunder berupa
1.    Visual
2.    Fotografi
3.    Properti (pakaian, perhiasan, dokumen, dll)
4.    Medik – antropologi (pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, ciri khas khusus dan bekas luka yang ada di tubuh korban)
     Pada korban kematian akibat bencana besar, seringkali ditemukan kesulitan terutama karena penampakan tubuh korban yang sama sekali tidak bisa dikenali secara kasat mata karena sebagian besar tubuhnya telah hancur dan tidak berbentuk. Dalam keadaan seperti inilah kemudian identifikasi khusus dibutuhkan.
Terdapat beberapa fase yang ada dalam DVI (Identifikasi) yakni :
1.      In the scene of incidents atau biasa disebut tempat kejadian peristiwa (TKP). Pada fase ini, dilakukan pembatasan area dengan menggunakan garis batas polisi sehingga area TKP tidak terganggudan  dapat dilakukan labelling pada korban dan dokumentasi untuk kepentingan identifikasi
2.      Collecting post mortem data yang terdiri dari pemeriksaan medik antropologi, pengambilan foto, pengambilan sidik jari, pemeriksaan rontgen, pemeriksaan odontology forensik, hingga pengambilan sampling untuk pemeriksaan DNA
3.      Collecting ante mortem data yang biasa dilakukan dengan wawancara mengenai riwayat korban pada orang terdekat terutama keluarga
4.      Reconciliation, pada fase ini, data post mortem dan ante mortem yang telah didapatkan dibandingkan dan dicocokkan. Jika indikator kecocokan sudah dicapai, maka identitas korban akan semakin mudah untuk diketahui.
5.      Returning to the family atau proses pengembalian pada keluarga jika korban telah teridentifikasi, selanjutnya dilakukan rekonstruksi hingga didapatkan kondisi/kosmetik terbaik untuk kemudian dikembalikan pada keluarganya.
      Dalam pelaksanaanya, identifikasi bukan merupakan perkara yang mudah. Banyak kesulitan yang dialami karena kurangnya sistem informasi dan pengumpulan data yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, proses reconciliation menjadi sulit dilakukan karena kurangnya data informasi ante mortem korban. Kesulitan-kesulitan tersebut dikarenakan hal-hal sebagai berikut :
a.       Buruknya pencatatan dan rekam medis, sehingga data – data hasil pemeriksaan korban terutamadata primer tidak tersimpan dan tercatat dengan baik.
b.      Masih rendahnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemeriksaan tertent secara berkala, dalam kasus ini adalah gigi yang dapat digunakan sebagai data primer, sehingga data ante mortem profil gigi pun sulit didapatkan.
c.       Kurangnya sosialisasi pemerintah untuk mengumpulkan data primer layaknya di luar negeri
      Dari hal-hal diatas Penulis hanya bisa menyarankan agar pemerintah lebih peduli akan hal ini dan meningkatkan kepedulian itu dengan cara mengadakan suatu program yang dapat mendukung dan mempermudah proses pemeriksaan ini agar tidak terbengkalai.
2.3  Fase Pemeriksaan Postmortem
      Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Pada fase ini tubuh korban diradiografi dan diotopsi. Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga. Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya. Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat. Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol. Kegiatan pada fase kedua dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.       Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP.
b.      Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah dan barangbarang.
c.       Membuat foto jenazah.
d.      Mengambil sidik jari korban dan golongan darah.
e.       Melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia.
f.        Melakukan pemeriksaan terhadap properti yang melekat pada mayat.
g.      Melakukan pemeriksaan gigigeligi korban.
2.      Membuat rontgen foto jika perlu.
3.      Mengambil sampel DNA.
4.      Menyimpan jenasah yang sudah diperiksa.
5.      Melakukan pemeriksaan barangbarang kepemilikan yang tidak melekat di mayat yang ditemukan di TKP.
6.      Mengirimkan datadata yang telah diperoleh ke unit pembanding data. Datadata post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik.
 Urutan pemeriksaan pada jenazah adalah sebagai berikut :
a.    Mayat diletakkan pada meja otopsi atau meja lain
b.    Dicatat nomor jenazah
c.    Foto keseluruhan sesuai apa adanya
d.    Ambil sidik jari (bila dimungkinkan keadaannya)
e.    Deskripsi pakaian satu persatu mulai dari luar, kemudian dilepas dan dikumpulkan serta diberi nomor sesuai nomor jenazah (bila diperlukan untuk mengambil foto jika dianggap penting dan khusus).
f.     Barang milik pribadi dan perhiasan difoto dan didiskripsi kemudian dikumpulkan dan diberi nomor sesuai nomor jenazah. Contohnya barang milik priadi
g.    Periksa secara teliti mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki yang meliputi : Identifikasi umum (jenis kelaminumurBBTB, dll); Identifikasi khusus (tato, jaringan parut, cacat, dll).
2.    Lakukan bedah jenazah dan diskripsikan temuan, prinsipnya mencari kelainan yang khas, penyakit/patologis, bekas patah tulang, bekas operasi dan lainlain.
3.    Ambil sampel untuk pemeriksaan serologi, DNA atau lainlain.
4.    Foto akhir keseluruhan sesuai kondisi korban.
5.    Buat kesimpulan berdasarkan pemeriksaan patologi forensik.Contohnya foto rontgen jari tangan

Urutan pemeriksaan gigigeligi :
a.       Pemeriksaan dilakukan oleh dokter gigi atau dokter gigi forensic.
b.      Jenazah diletakkan pada meja atau brankar.
c.       Untuk memudahkan pemeriksaan jenazah, jenazah diberi bantalan kayu pada punggung atas/bahu sehingga kepala jenazah menengadah ke atas.
d.      Pemeriksaan dilakukan mulai dari bibir, pipi, dan bagianbagian lain yang dianggap perlu.
e.       Guna memperoleh hasil pemeriksaan yang maksimal, maka rahang bawah harus dilepaskan dan jaringan kulit atau otot pada rahang atas dikupas ke atas agar gigi tampak jelas kemudian dibersihkan. Hal ini untuk mempermudah melakukan pemeriksaan secara teliti baik pada rahang atas maupun bawah.
f.        Apabila rahang atas dan bawah tidak dapat dipisahkan dan rahang kaku, maka dapat diatasi dengan membuka paksa menggunakan tangan dan apabila tidak bisa dapat menggunakan `T chissel’ yang dimasukkan pada region gigi molar atas dan bawah kiri atau kanan atau dapat dilakukan pemotongan musculus masetter dari dalam sepanjang tepi mandibula sesudah itu condylus dilepaskan dari sendi.
g.      Catat kelainankelainan sesuai formulir yang ada.
h.      Lakukan rontgen gigi.
i.        Bila perlu rontgen tengkorak jenazah.
j.        Contoh foto rontgen kepala
k.      Selanjutnya bila perlu dibuat cetakan gigi jenazah untuk analisa lebih lanjut.

2.4  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Pada Kematian
1.        Autolisis
Autolysis adalahjaringan yang mati dihancurkan oleh enzim-enzim antara lain enzim dari lisosom, mikroorganisme yang mengifeksi jaringan mati. Tubuh yang mati akan mencair, kecuali jika dicegah dengan pengawetan atau pendinginan.Akibat pengaruh fermen-fermen pada tubuh, jaringan mengalami autodigestion.
Pada jaringan tertentu seperti mukosa lambung, kandung empedu, autolysis cepat terjadi,karena itu biasanya tidak dapat diperoleh sediaan mikroskopik yangbaik. Pada umumnya makin tinggi ferensiasi jaringan, makin cepat autolysis. Sedangkan jaringan penyokong lebih awet. Pembusukan terjadi akibat masuknya kuman saprofitik, biasanya kuman ini berasal dari usus. Gas H2S maka jaringan sekitar usus tampak kehijauan.
2.        Algor Mortis
Suhu tubuh menjadi dingin sesuai suhu lingkungan memerlukan waktu 24 s/d 48 jam untuk menjadi dingin sesuai suhu lingkungan. Suhu tubuh menjadi dingin karena proses metabolisme terhenti. Jika ditempat yang dingin maka akan lebih cepat dingin, tetapi jika ditempat yang panas akan lebih lambat.Terjadi setelah kematian dan berlanjut sampai tercapai suatu keadaan dimana suhu mayat sama dengan suhu lingkungan. Pada jam-jam pertama setelah kematian somatis, penurunan suhu berlangsung lambat karena :
a.       Tubuh terdiri dari berbagai lapisan yang tidak homogen sehingga lapisan yang berada di bawah kulit akan menyalurkan panasnya ke arah kulit sehingga membutuhkan waktu untuk menyalurkan panas. Jika sudah mencapai temperature gradient.
b.      Proses metabolisme sel yang masih berlangsung beberapa saat setelah kematian somatis
c.       Penurunan suhu mayat akan berlangsung lambat pada saat mendekati suhu lingkungan
Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi kecepatan penurunan suhu mayat, antara lain :
1)      Faktor lingkungan, semakin besar beda antara suhu mayat dengan suhu lingkungan, maka penurunan suhu akan berlangsung lebih cepat. Demikian juga intensitas serta kualitas dari aliran atau pergerakan udara akan berpengaruh terhadap kecepatan penurunan suhu mayat.
2)      Suhu tubuh sebelum kematian, beberapa keadaan seperti infeksi, perdarahan otak, kerusakan jaringan otak, serta kematian karena penjeratan akan didahului dengan peningkatan suhu tubuh.
3)      Keadaan fisik tubuh dan pakaian yang menutupinya, semakin tebal jaringan lemak atau pakaian yang dikenakan, maka kecepatan penurunan suhu akan semakin lambat.

3.        Rigor Mortis (kaku mayat)
Rigor Mortis (kaku mayat)timbul setelah 2 s/d 4 jam setelah kematian. Mencapai puncak setelah 48 jam dan kemudian menghilang selama 3 sampai 4 hari.Kekakuan pada seluruh otot yang terjadi setelah periode relaksasi primer. Terjadi sekitar 2 jam post-mortal dan mencapai puncak pada 10 – 12 jam post-mortal kemudian menetap selama 24 jam. Setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot-otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai
Peranan ATP sangat penting dalam proses kaku mayat (rigor mortis). Dalam keadaan kontraksi otot normal, glikogen yang disimpan dalam otot diubah menjadi asam laktat dan energi. Energi ini akan digunakan untuk kembali mensintesis ATP. ATP penting untuk menjaga kemampuan kontraksi dan kelenturan otot sehingga otot tidak menjadi kaku. Pada kematian somatis sudah tidak terjadi proses metabolisme sel yang akan menghasilkan ATP sehingga kadar ATP menjadi sangat berkurang dan akibatnya sifat kelenturan dan kemampuan kontraksi otot menjadi hilang akibatnya muncul kaku mayat (rigor mortis). Cadangan ATP pada setiap otot berbeda, sehingga munculnya kaku mayat (rigor mortis) akan berbeda dan biasanya lebih cepat pada jaringan otot yang serabut ototnya lebih sedikit.Peranan ATP tersebut juga dapat menjelaskan munculnya kaku mayat yang lebih cepat pada kematian karena infeksi, konvulsi kelelahan, keadaan suhu keliling yang tinggi, dan keadaan gizinya jelek.
Jika terjadi pada ekstremitas, kekakuannya menyerupai papan, sehingga dibutuhkan tenaga untuk dapat melawan kekakuan tersebut. Adanya kejanggalan dari postur pada mayat, dimana kaku mayat telah terbentuk dengan posisi sewaktu mayat ditemukan, dapat menjadi petunjuk bahwa tubuh korban telah dipindahkan setelah mati.
Hal-hal yang perlu dibedakan dengan rigor mortis atau kaku jenazah adalah:
a.       Cadaveric Spasmus, yaitu kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan menetap sesudah kematian akibat hilangnya ATP lokal saat mati karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum mati.
b.      Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein karena panas sehingga serabut otot memendek  dan terjadi flexi sendi. Misalnya pada mayat yang tersimpan dalam ruangan dengan pemanas ruangan dalam waktu yang lama.
c.       Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan yang dingin sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh dan pemadatan jaringan lemak subkutan sampai otot.

4.        Livor Mortis (lebam mayat)
Livor Mortis (lebam mayat)akan tampak setelah 30 menit kematian dan mencapai puncaknya setelah 6 hingga 10 jam.Lebam mayat timbul pada bagian bawah tubuh.Terjadi karena à pengumpulan darah à dalam pembuluh-pembuluh darah kecil, kapiler dan venula, pada bagian tubuh terendah ß akibat gaya gravitasi. Lebam mayat akan tampak sebagai daerah pada kulit yang berwarna merah ungu (livide) dan biasanya tidak tampak pada daerah-daerah yang mendapat tekanan. Biasanya mulai tampak + 30 menit setelah kematian somatis dan intensitas maksimal akan dicapai dalam 8 – 12 jam post-mortal, sehingga tidak akan mengalami perubahan apabila ditekan. Hal ini bisa dijadikan sebagai penanda, apakah mayat tersebut telah diubah posisinya atau tidak.
Warna lebam mayat umumnya merah-ungu (livide), namun bisa berbeda pada keadaan tertentu, misalnya :Keracunan CO : warnanya merah bata (cherry red);Keracunan CN- (sianida) warnanya merah terang karena kadar HbO2 dalam darah vena tetap tinggi;Keracunan zat yang bisa menimbulkan methemoglobinemia (keracunan KClO3, kinine, anilin) warnanya cokelat kebiruan (slaty);Kasus tenggelam atau tubuh mayat ada pada lingkungan bersuhu rendah, maka lebam mayat khususnya yang dekat dengan tempat yang bersuhu rendah akan berwarna à merah terang.
5.        Pembekuan Darah postmortal
Beku darah post mortal berkonsistensi lunak, elastic dan seperti gel, berbeda dengan thrombus yang konsistensinya keras dan kering.Terjadi segera setelah penderita meninggal. Dapat pula terjadi pada masa agoni (algonialclots). Beku darah yang terjadi setelah orang meninggal disebut post mortem clots, warnanya merah, elastic atau seperti agar – agar (cruor clots) dan beku darah ini tidak melekat erat pada dinding pembuluh darah jantung. Bila beku darah terbentuknya lambat, maka beku darah nampak  berlapis-lapis ; sel darah merah karena lebih berat merupakan lapis terbawah, diantaranya leukosit dan paling atas ialah lapis yang berwarna kuning terdiri atas plasma darah dan sedikit leukosit. Beku darah semacam ini terdapat di dalam jantung dan dapat di temukan pada bedah mayat.Bagian terbawah yang, merah dan mengandung eritrosit di sebut cruor clots dan bagian atas yangkuning karena menyerupai lemak ayam di sebut sebagai “chicken fat clot”.
6.        Jejas postmortal
Enzim dalam tubuh masih aktif untuk beberapa waktu setelah kematian. Jejas postmortal tidak dijumpai reaksi radang pada jejas, sedangkan pada lesi antemortal nampak reaksi radang.
7.        Pembusukan
Pembusukanadalahhancurnya tubuh yang mati karena invasi bakteri. Kulit menjadi kehijauan setelah 1 sampai 2 minggu.Pembusukan jenazah terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan kerja bakteri. Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan dimulai dari daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan berbau busuk karena terbentuk gas seperti HCN, H2S dan lainlain. Gas yang terjadi menyebabkan pembengkakan. Akibat proses pembusukan rambut mudah dicabut, wajah membengkak, bola mata melotot, kelopak mata membengkak dan lidah terjulur. Pembusukan lebih mudah terjadi pada udara terbuka suhu lingkungan yang hangat/panas dan kelembaban tinggi. Bila penyebab kematiannya adalah penyakit infeksi maka pembusukan berlangsung lebih cepat.Pembusukan dipengaruhi oleh enzym dan mikroorganisme.Pembusukanakantimbul 18 – 24 jam sesudah kematian. Tanda-tanda pembusukan meliputi :
a.       Warna kehijauan pada daerah caecum
b.      Wajah dan bibir membengkak
c.       Scrotum / vulva membengkak
d.      Distensi dinding perut
e.       Marbling pada vena-vena kulit
f.        Buliae
g.      Darah keluar dari hidung / mulut
h.      Bola mata menonjol
i.        Kuku / rambut terlepas




BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Postmortem adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk mengidentifikasi mayat korban suatu bencana. Dengan mengandalkan bukti-bukti DNA,tanda pengenal,struktur tubuh,struktur gigi. Biasanya hal ini dilakukan oleh sebuah tim khusus yang disebut DVI yaitu tim yang bertugas untuk melakuakn identifikasi mayat sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan yang berisi dokter ahli forensik dan dokter gigi forensik.
3.2  Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan, pembaca dapat memahami penjelasan di dalamnya khususnya tentang postmortal sehingga dapat diterapkan, guna pemaksimalan pemahaman mengenai kelainan retrogresif



DAFTAR PUSTAKA

fitrytessar.blogspot.co.id/?m=1

sukaryat.blogspot.co.id/2013/05/makalah-tentang-perubahan-post-mortem.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar